KOMPAS.com - Ditemukannya kontaminasi bakteri Clostridium botulinum pada sejumlah produk susu di China belum lama ini cukup menggegerkan. Pasalnya, produk yang terkontaminasi itu mengandung konsentrat whey protein yang diproduksi oleh perusahaan susu terkemuka Selandia Baru, yang mengekspor 95 persen produknya ke banyak negara termasuk Indonesia.
Cemaran bakteri C. botulinum atau botulisme dalam makanan sejatinya bukan merupakan kasus baru. Menurut data Badan Pengawas Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA) tahun 1996, hampir sebanyak 200 kasus botulisme terjadi setiap tahunnya di AS. Hampir semua kasus terjadi secara alami melalui makanan yang terkontaminasi bakteri C. botulinum.
Dilansir dari situs UPMC Center for Health Security, botulisme merupakan suatu keadaan yang jarang terjadi, akan tetapi bisa berakibat fatal. Botulisme disebabkan oleh keracunan toksin yang diproduksi oleh C. botulinum.
Toksin ini adalah racun yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot yang berat. Karena menyebabkan kerusakan berat pada saraf, maka racun ini disebut neurotoksin.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), karakteristik botulisme yaitu adanya kelumpuhan saraf yang berawal pada saraf di sekitar kepala. Kelumpuhan saraf terjadi karena adanya hambatan dari proses penghantaran rangsang pada sistem saraf oleh neurotoksin. Neurotoksin diproduksi saat bakteri C. botulinum mulai membentuk spora.
WHO mengkategorikan botulisme menjadi lima: botulisme makanan yaitu akibat makanan yang tercemar, botulisme luka yaitu akibat luka yang tercemar, dan botulisme bayi, terjadi pada anak-anak karena makanan yang tercemar, botulisme dewasa, mirip dengan botulisme bayi, namun umumnya terjadi pada mereka yang pernah mendapat pembedahan pada perut, dan botulisme yang disengaja, terjadi dengan penyuntikan toksin C. botulinum dengan sengaja.
Food Safety Australia menyebutkan, gejala dari botulisme umumnya di mual, muntah, diare yang diikuti dengan kelumpuhan saraf mata, mulut, tenggorokan, dan secara progresif menjalar pada otot. Sedangkan pada bayi, botulisme ditandai dengan sembelit, lesu, dan kesulitan bernapas. Gejala umumnya muncul antara 12 hingga 36 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi, dan bertahan 3-30 hari.
Tidak semua C. botulinum menyebabkan penyakit pada manusia. Strain-strain C. botulinum memproduksi toksin A-G, namun hanya strain yang memproduksi toksin A, B, E, F (jarang) yang menyebabkan botulisme pada manusia.
Dikenal tujuh antigenik toksin (A-G). Tipe A, B dan E (kadang-kadang F) adalah penyebab utama penyakit pada manusia. Tipe A dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E terutama pada hasil ikan. Tipe C menyebabkan leher lemas pada unggas; tipe D, botulisme pada mamalia. Beberapa toksin yang dihasilkan C. botulinum memiliki kadar protein yang tinggi sehingga tahan terhadap pengrusakan oleh enzim pelindung usus.
Botulisme dapat diobati dengan menonaktifkan dan menghilangkan toksin sedini mungkin. Sejauh ini, belum ada penelitian yang berhasil menemukan obat untuk menetralkan efek toksin. Namun injeksi antiserum dapat menetralkan sirkulasi dari toksin pada lambung dan usus.
C. botulinum ditemukan pada makanan mentah yang berasal dari tanah atau laut. Kegagalan dan/atau penyalahgunaan suhu saat proses produksi makanan memungkinkan terjadi perkecambahan spora dan proliferasi sel vegetatif dari bakteri.
Anda sedang membaca artikel tentang
Risiko Kesehatan di Balik Cemaran Clostridium botulinum
Dengan url
http://healthynutritionofchildren.blogspot.com/2013/08/risiko-kesehatan-di-balik-cemaran.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Risiko Kesehatan di Balik Cemaran Clostridium botulinum
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Risiko Kesehatan di Balik Cemaran Clostridium botulinum
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar